Pemilu merupakan ajang bergengsi
bagi partai politik bersama caleg calegnya menunjukan kehebatannya. Berbagai
cara ditempuh untuk mendapatkan "persentase" setinggi-tingginya,
termasuk rekayasa hasil penghitungan suara. Dari berita-berita yang dihimpun
dari berbagai media OL, ditemukan banyak sekali kecurangan rekayasa yang
dilakukan oleh oknum parpol tertentu untuk mendongkrak jumlah suara.
Sebelum pemilu 9 April digelar,
banyak sekali yang memprediksi pemilu tahun ini sangat rawan kecurangan.
Setelah digelar ternyata memang benar banyak kasus ditemukan terkait
penggelembungan suara, bahkan ada suara yang hilang. Ini bisa terjadi di
tingkat TPS, Pleno Desa, Pleno Kecamatan bahkan mungkin di KPUD.
Saya menilai Pemerintah khususnya
KPU sangat memaksakan penyelenggaraan Pemilu kali ini, ada banyak hal yang
mestinya di kaji terlebih dahulu oleh Pemerintah khususnya KPU dalam menentukan
peraturan Pemilu untuk mengurangi atau mempersempit kesempatan kecurangan yang
dilakukan.
Hal pertama yang ingin saya
soroti adalah masalah DPT yang secara umum masih carut-marut. Masih banyak
masyarakat yang seharusnya dapat hak pilih namun tidak mendapatkan "surat
undangan". Seyogyanya masalah DPT ini bisa diatasi jika Program E-KTP
berjalan dengan lancar. Namun apa yang kita dengar, masih banyak yang belum
diproses kartu E-KTP nya, data kependudukan belum terintegrasi secara
menyeluruh. Bahkan yang paling menyedihkan adalah proyek E-KTP sendiri sudah di
Korupsi.
Seharusnya pada tahap ini pun
(DPT) pemilu harus sudah ditangguhkan. Kenapa tidak ada yang mempertanyakan?
Yah karena mungkin semua sudah direncanakan. :D
Okelah kita lanjut ke masalah
kedua, kita kesampingkan masalah DPT yang carut marut, anggap saja kita belum
modern, jauh dari dunia IT dan tidak melek teknologi. Atau masih takut
"penyadapan" :D.
Kedua, dengan
"keterpaksaan" yang ada akhirnya pemilu di gelar. Maka Partai Politik
segera membuka "LoCal" (Lowongan Caleg :D) dengan biaya bervariatif
mereka para bacaleg mendaftarkan diri sebagai caleg. (bayangkan dari pertama
caleg aja udah komersial :D). Kompetisipun dimulai. Para Caleg yang
"dibisiki" harus kompetitif dengan caleg2 lain dari partainya
sendiri, karena akan dirangking berdasarkan perolehan suara terbanyak. Nah!!!
mereka pun dengan berbagai cara dan sedikit dramatis melakukan kampanye. Tidak
sedikit dari mereka yang melakukan Black Campaign dengan Money Money Money
(lagi-lagi komersil :D).
Logikanya, para caleg dengan
modal yang tidak sedikit untuk mendapatkan hak kursi yang diinginkan, mereka
pasti ingin mengembalikan "modal" yang telah dikeluarkan selama
pencalonan, apa mungkin gaji mereka sebagai wakil rakyat mencukupi untuk
"balik modal"? Lagi-lagi urusannya uang kan? :D Komersial banget!
Ketiga, proses pencoblosan, rekap
data dan sinkronisasi data dilakukan secara manual. Kita pastinya sudah bisa
menerka, seberapa besar kemungkinan kecurangan yang terjadi? Pembelian suara,
mark up hasil, penggelembungan angka hasil pemilu, dll dll dll.. (lagi-lagi
mereka yang terlibat dalam rekayasa hasil, karena uang sogok menyogok :D)
Keempat adalah ketentuan
perolehan hak kursi bagi caleg. Ternyata, sekali lagi ternyata! Penghitungan “jatah”
kursi bagi caleg dari suatu partai adalah ditentukan oleh banyaknya suara sah
pada satu dapil kemudian dibagi “jatah” kursi yang disediakan di dapil
tersebut. NAH..!!! Semakin pusing rupanya para caleg, suara yang dihitung
adalah jumlah suara yang memilih caleg dengan jumlah suara yang memilih partai.
Artinya setelah direkap dan dilakukan penghitungan jatah kursi, kompetisi
(masalah kedua tadi) tersebut menjadi tidak terlalu berpengaruh, mana yang
paling diuntungkan? Ya.. Partai. Sebuah partai dengan jumlah perolehan suara
yang tinggi, contoh sekitar 25%, tidak menjamin bisa dapat jatah kursi 2 atau
3. Karena cara penghitungan jatah kursi ditentukan dari Bilangan Pembagi
Pemilih (BPP). Artinya untuk jatah kursi selanjutnya dari partai yang memiliki
perolehan suara tertinggi, harus dirangking terlebih dahulu dengan partai-partai
lain yang perolehan suaranya sedikit. Ternyata partai dengan perolehan
tertinggi pun, untuk caleg yang mengharapkan kursi kedua masih berdebar-debar!
Ternyata tidak mutlak dapat jatah 2 kursi atau lebih. Hmmm membingungkan!
Terlalu banyak masalah negeri
ini, itu baru satu masalah dan masalah yang sangat mendasar dari sebuah negeri
yang berasaskan permusyawaratan dan perwakilan, sebuah komitmen untuk membangun
pemerintahan, namun dalam prakteknya banyak mempraktekan hal-hal yang negative.
Kenapa masih banyak kalangan yang berdiam diri? Saya yakin ini bukan rahasia!
Pelanggaran yang dibiarkan atau kesengajaan? Atau memang sudah ada “dalang”
nya?
Entahlah…!!!
No comments:
Post a Comment